Kesadaran Fitrah

Share to :

Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah

alhikmah.ac.id – Allahu Akbar 3 X Allah Maha Besar, Allah Maha Agung, dan Maha Suci Allah setiap pagi dan petang, baik di masa silam, masa kini, dan masa depan.

 

Segala puji bagi Allah, Zat yang telah menjadikan Hari Raya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Dengan Idul Fitri, Allah telah menutup bulan Ramadhan, bulan suci bagi hamba-hamba-Nya yang berpuasa dengan penuh keikhlasan.

 

Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut  disembah dengan sebenarnya kecuali Allah, Zat yang tiada sekutu bagi-Nya. Kesaksian ini akan membersihkan hati dari segala tipuan dan rayuan yang mecelakakan. Aku besaksi pula bahwa Muhammad itu adalah hamba dan Rasul-Nya, seorang makhluk terbaik dan yang paling taat kepada Allah Rabbul ‘Alamin. Ya Allah, limpahkanlah rahmat, karunia, dan keberkahan-Mu kepada Sayyidina  Muhammad Saw., kepada keluarganya dan kepada segenap sahabatnya yang telah menghabiskan seluruh hidupnya dengan berjuang menegakkan agama-Mu.

 

Saudara-saudara kaum muslimin dan muslimat yang berbahagia.

 

Setelah sebulan penuh lamanya kita berpuasa, kini, dengan rahmat Allah Swt., kita berkumpul di sini dalam keadaan gembira bercampur sedih. Kita bergembira karena telah lulus dari ujian yang sangat berat, yaitu mengendalikan nafsu sebulan penuh lamanya. Kegembiraan ini   dirasakan khusus bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa. Tetapi kita juga bersedih karena telah ditinggalkan oleh bulan yang penuh dengan rahmat dan ampunan, sedang umur kita belum tentu akan bertemu kembali dengan bulan mulia ini.

 

Bulan Ramadan telah kita lalui, ibadah puasa telah kita jalani. Kini, pada hari ini, kita dan kaum muslimin di seluruh dunia beridul fitri.  Ada ucapan yang sangat populer dikalangan kaum muslimin yang sedang merayakan Idul Fitri, yaitu: Min al’Aidin Wal Faizin yang bila diterjemahkan secara harfiah, ucapan itu berarti: (semoga kita) termasuk ke dalam golongan orang-orang yang kembali dan orang-orang yang beruntung. Sebuah ucapan yang mengandung doa yang diperuntukkan bagi orang-orang yang baru saja selesai melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan.

 

Min al’ Aidin berarti (semoga kita) termasuk ke dalam golongan orang-orang yang kembali.  Kata ‘kembali’ memberikan kesan bahwa selama ini kita berada jauh dari agama; selama ini langkah hidup kita keliru dan salah arah sehingga perlu diluruskan dengan kembali kepada keadaan semula,Idul fitri yakni kembali kepada fitrah.

 

Fitrah  berarti kesucian, asal kejadian, atau agama yang benar. Bila fitrah dipahami dalam arti kesucian maka dengan ucapan Min al-Aidin, kita berdoa kepada Allah semoga, setelah sebulan penuh lamanya berpuasa, kita bersama kembali menjadi manusia yang suci bersih dari segala dosa dan noda. Bila fitrah dipahami dalam arti asal kejadian maka ucapan Min al-Aidin berarti semoga, setelah sebulan penuh lamanya berpuasa,  kita semua kembali menyadari jati diri kita sebagai makhluk dua dimensi, yaitu dimensi ruhaniah dan dimensi lahiriah , menjadi manusia yang utuh sehingga tidak terjadi pemisahan antara yang ideal dan yang aktual, ilmu dan amal, akidah dan syariah, moral dan perilaku semuanya saling melengkapi, kebutuhan jasmaniah tidak mengalahkan kebutuhan ruhaniah, dan dunia tidak mengalahkan akhirat. Dan bila fitrah dipahami sebagai agama yang benar, doa itu berarti semoga, setelah sebulan penuh lamanya berpuasa,   kita kembali dapat melaksanakan ajaran-ajaran agama sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

 

Adapun Wal-Faizin artinya: Dan (semoga kita) termasuk ke dalam orang-orang yang beruntung. Keberuntungan dalam bahasa Alqur’an berarti ketaatan kita dalam menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, pengampunan atas segala dosa yang telah kita perbuat, dan surga yang dijanjikan. Jadi dengan ucapan   Wal-Faizin kita berdoa semoga kita semua, setelah menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadan, menjadi semakin taat dalam beribadah dan mendapat ampunan dari Allah sehingga di akhirat kelak kita mendapatkan surga-Nya.

 

Orang-orang yang beruntung adalah mereka yang paska Ramadan menemukan kembali kesadaran dirinya, yaitu fitrah yang dengan fitrah itu manusia cenderung kepada kebenaran. Dan orang-orang yang merugi adalah mereka yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga karena mereka masih tetap berada jauh dari kesadaran dirinya, jauh dari Tuhannya, jauh dari agamanya, dan tetap jauh dari jalan kebenaran.

 

Allahu Akbar 3 X. Allah Maha Besar 3X

 

Saudara-saudara kaum muslimin dan muslimat yang berbahagia.

 

Manusia mempunyai dua jenis kesadaran fitri, yaitu kesadaran ilahiah dan kesadaran insaniah. Kesadaran ilahiah adalah kesadaran akan diri seseorang dalam kaitannya dengan  Yang Maha Ada, Allah Swt. Dengan kesadaran ilahiah, manusia senantiasa berada dalam orbit  kerinduannya untuk semakin dekat secara vertikal kepada Allah Swt. Adapun kesadaran insaniah adalah kesadran akan diri seseorang dalam kaitannya dengan seluruh umat manusia. Dengan kesadaran insaniah , semua manusia mempunyai rasa kemanusiaan yang sama yang membentuak kesatuan faktual dengan satu nurani insani bersama yang membuat manuasia merindukan kedekatan hubungan secara horizontal dengan sesamanya.

 

Kedua kesadaran tersebut merupakan potensi dasar manusia yang dibawa sejak manusia masih hidup di alam ruh, bersifat primordial dan laten. Syaikhul Islam Prof. Dr. Muhammad Tahir Ul Qadri dalam bukunya “Islamic Concept of Human Nature” halaman 25 mengatakan:

 

“This potensial awareness of God’s existence is a universal phenomenon. Each human society, in one form or the other, has posited the notion of divinity. Even in various un-Islamic and arheistic societies, people are inclined to ackowledge the precent and relevance of super-natural and supra-rasional forces which they are helpless to explain by perceptual standars.”

 

Kesadaran potensial akan keberadaan Allah adalah fenomena universal. Setiap masyarakat manusia, dalam satu bentuk atau yang lain, telah mengemukakan gagasan tentang keilahian. Bahkan dalam masyarakat  un-islami dan  arheistik sekali pun, orang cenderung mengakui kahadiran dan relevansi dari kekuatan super-natural dan supra-rasional yang mereka tidak berdaya untuk menjelaskan dengan standar yang dapat diterima.

Jadi, bukan manusia dilahirkan terlebih dahulu kemudian kesadarannya datang menyusul pada tahap selanjutnya. Kedua  kesadaran itu bersifat fitri yang sudah ada jauh sebelum manusia dilahirkan ke muka bumi. Allah Swt. berfirman:

………..

 

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), Bukankah Aku ini Tuhanmu? “Mereka menjawab, betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi” (QS. Al-A’raf: 172).

 

Setelah manusia lahir ke alam dunia, kesadarannya sering kali terpenjara oleh dorongan-dorongan hawa nafsu dan berbagai rangsangan inderawi yang datang dari luar dirinya yang membuat manusia lupa akan perjanjian yang telah diucapkannya di hadapan Tuhannya, lupa akan amanat yang telah diterimanya sebagai khalifah atau wakil Tuhan di muka bumi.

 

Meskipun demikian, kesadaran tersebut tidak pernah hilang , ia tetap tersimpan di alam bawah sadar yang sewaktu-waktu muncul ke permukaan. Ketika seseorang hendak melakukan tindak kejahatan, kesadarannnya seringkali muncul dan akan berusaha untuk mencegahnya, dan jika dia terpaksa melakukannya dia akan menyesal; penyesalan adalah sebagai pertanda bahwa dia telah kembali kepada kesadarannya. Para pemabuk, pejudi, perampok, pezina, dan koruptor pada saat-saat tertentu muncul kesadarannya untuk menghentikan semua perbuatan tersebut; namun, karena kuatnya dorongan hawa nafsu , kesadaran mereka sering kali terkalahkan dan akhirnya kembali tenggelam ke alam bawah sadar. Mereka pun kembali kumat lagi.

 

Dengan demikian, ketidaksadaran adalah suatu kondisi ketika seseorang melupakan  Allah dan amanat yang telah diterimanya,melupakan agamanya,dan lupa akan jalan kebenaran yang harus ditempuhnya dikarenakan dirinya telah menjadi budak harta, budak pangkat dan jabatan, budak nafsu birahi, dan budak nafsu-nafsu lahiriah lainnya. Ketidaksadaran juga dapat terjadi karena jiwa terhalangi oleh pikiran-pikiran salah seperti prasangka buruk, fanatik kelompok, sudut pandang yang keliru, eksklusifisme, iri-dengki, dan lain-lain. Dalam kondisi seperti itu, jiwa menjadi lemah , tidak mampu melakukan rekoleksi atau pengingatan kembali akan alam yang lebih tinggi dan lebih indah disebabkan oleh keterlenaan hati pada dunia fenomenal.

 

Yang dimaksud hati di sini bukanlah hati fisik, tetapi hati spiritual yang berperan sebagai penghubung antara fitrah atau ruh ilahiah dan dunia fenomenal, penentu segala perbuatan manusia. Jika hati mengonstrasikan perhatiannya pada pranata ilahiah, ia akan menentukan sikap yang diambilnya sesuai dengan pranata iahiah tersebut. Sebaliknya jika hati teramat asyik dengan rangsangan-rangsangan inderawi dari dunia fenomenal, syahwatnya akan menguasainya sehingga manusia menjadi budak dari hawa nafsu dan syahwatnya, sama seperti binatang-binatang lain yang berkeliaran di kota-kota dan di desa-desa.

 

Untuk menemukan kembali kesadaran diri, nafsu harus dikendalikan, hati perlu ditempa dengan iman dan diisi dengan ajaran-ajaran ilahiah yang terkandung di dalam Alqur’an dan Sunnah Nabi Saw. yang dijelaskan oleh para ulama. Allah Swt. berfirman:

………..

 

 

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) Agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”(QS. Al-Rum: 30). Menghadapkan diri pada agama Allah merupakan jalan praktis bagi hati untuk menemukan kembali kesadaran diri manusia.

 

Selama berpuasa di bulan Ramadan, kita dilatih agar mampu menahan diri dari segala godaan hawa nafsu dengan berusaha meninggalkan segala perbuatan yang dilarang agama; hati kita diisi dengan iman dan ilmu ilahiah dengan memperbanyak ibadah, baik ibadah mahdoh yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan batin dengan Allah maupun ibadah muamalah yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan baik dengan sesama.

 

Dengan berlalunya bulan Ramadan, haruslah lahir pribadi-pribadi baru, yaitu pribadi-pribadi yang telah menemukan kembali kesadaran dirinya, yang mampu merekoleksi perjanjian yang telah diucapkannya di hadapan Allah pada saat masih berada di alam ruh dan yang mampu melaksanakan amanat yang telah diterimanya sebagai khalifah atau wakil Tuhan di muka bumi. Pribadi-pribadi tersebut adalah pribadi-pribadimuttaqin.

 

Pribadi-pribadi mutaqin adalah pribadi-pribadi yang karena kesadarannya senantiasa mendambakan kedekatan hubungan dengan Allah Azza wa Jalla. Dan kedekatan hubungan dengan Allah hanya dapat dicapai apabila diserti pula dengan kesediaan untuk mendekati sesama manusia. Pribadi-pribadi muttaqin adalah para pecinta Allah; dan para pecinta Allah tidak akan pernah tinggal diam ketika melihat saudara-saudaranya berbalut duka karena kemiskinan, kebodohan, kekerasan, dan penyakit. Mereka, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, terjun ke medan laga untuk membantu nasib orang lain yang hidup serba kekurangan. Pribadi-pribadi muttqin adalah mereka yang enggan melakukan tindakan yang merugikan atau mencelakakan  orang lain, karena mereka sadar bila mereka tidak suka mendapat perlakuan seperti itu, orang lain pun mempunyai perasaan yang sama. Duka orang lain adalah duka mereka juga. Dan akhirnya, pribadi-pribadi muttaqin adalah mereka yang mnyintai orang lain sebagaimana mereka menyintai diri mereka sendiri, menyayangi dan menghargai orang lain sebagaimana mereka menyayangi dan menghargai diri mereka sendiri.

Allahu Akbar 3 X     Allah Maha Besar3 X

 

Saudara-saudara kaum muslimin wal muslimat yang berbahagia.

 

Setelah sebulan penuh lamanya kita berpuasa di bulan Ramadhan, kini kita beridul fitri yang berarti kita kembali ke fitrah semula, suci bersih sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw:

………..

 

Orang yang berpuasa di bulan Ramadhan atas dasar iman dan mengharapkan keridoan Allah Swt.,maka dia dikembalikan menjadi suci bersih dari dosa dan kesalahan seperti bayi yang baru saja dilahirkan oleh ibunya. Oleh karena itu, janganlah diri yang suci ini kembali dikotori dengan perbuatan-perbuatan dosa.

Di hari yang fitri ini, hari ketika kita menemukan kembali kesadaran diri kita, genggamlah erat-erat kesadaran itu, dan jangan sampai lepas lagi. Marilah kita rayakan hari kemenangan ini, bukan dengan mengunjungi tempat-tempat maksiat, bukan berpesta pora bermabuk-mabukan; tetapi kita rayakan Idul Fitri ini dengan melakukan zikrullah, mengungkapkan dan mensyiarkan agama Ilahi, mengumandangkan kalimat takbir, tahmid, dan tahlil:

………..

 

Yaitu pengakuan yang bulat dan mutlak akan Kebesaran dan Kekuasaan Ilahi.

Disamping mengagungkan asma Allah, marilah kita perbaharui ikrar tauhid kita dengan mengucapkan kata-kata:

= Janji Allah senantiasa benar

= Allah selalu menolong hamba-hamba-Nya

= Allah senantisa memuliakan pejuang-pejuang

= Allah sendiri saja mampu menghancurkan

musuh.

 

Juga kita rayakan Idul Fitri ini dengan meningkatkan ikatan persaudaran, saling cinta-menyintai, santun menyantuni, dan dengan memupuk rasa kesetiakawanan. Merapatkan tali silaturrahim dengan saling bersalaman, bermaaf-maafan, kunjung-mengunjungi baik antara keluarga dengan keluarga, tetangga dengan tetangga, sahabat-sahabat dan lain-lain. Begitulah seharusnya kita merayakan Idul Fitri. Janganlah hati yang telah kita bina selama ini kita rusak dengan perbuatan-perbuatan tercela. Semoga jiwa Ramadhan dan kesadaran fitri ini tetap di hati kita sepanjang tahun. Amin ya robbalalamin.

download

admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter